Berubah Berkat MLM
Kalau kamu punya teman
lama yang udah lama banget nggak ketemu dan kemudian tiba-tiba seolah berhasrat
banget pengen ketemu kamu, jangan senang dulu. Karena ada dua kemungkinan. Pertama,
teman kamu emang pengen ketemu untuk bernostalgia, mengenang masa lalu, atau
seenggaknya saling berbagi kabar. Kedua, teman kamu pengen nawarin kamu buat
gabung MLM. Dan sialnya, kemungkinan yang kedua belum lama ini terjadi sama
saya.
Dan di postingan kali
ini, saya pengen berbagi pengalaman absurd terjebak dalam presentasi MLM.
Sebuah pengalaman yang sukses membuat saya berkata dalam hati … uhh, saya nggak
mau lagi, deh.
Semua berawal ketika saya tanpa sengaja bertemu teman lama saya yang kini tinggal di luar kota –tepatnya Jogja- beberapa hari setelah lebaran. Sebenarnya agak nggak tepat kalau disebut teman lama. Karena faktanya lebih dari itu. Dia adalah teman masa kecil saya. Pertemuan itu nggak berlangsung lama. Sangat singkat. Bahkan saya yakin nggak sampai 10 menit.
Di pertemuan yang
singkat itu, nggak banyak yang kami obralkan. Paling sekedar berbasa-basi. Dan karena
saya tahu dari facebooknya kalau teman saya ini jualan produk obat, saya iseng
aja nanya.
“Bro, punya obat
pelangsing?”
“Oh, ada. Tapi aku lagi
nggak bawa produknya.”
“Emm, nggak papa. Cuman
nanya aja, kok.”
“Lain kali aku bawakan
produknya. Nanti aku tunjukin ke kamu.”
Tentu, saya hanya
menganggap percakapan singkat itu sebagai basa-basi belaka. Setelah percakapan
tentang obat pelangsing itu berakhir, seolah terburu-buru karena ada suatu
acara, teman saya itu pamit. Tapi tepat sebelum teman saya meninggalkan saya,
dia meminta nomor HP saya. Tentu sebagai manusia normal, ketika dimintai nomor
kontak oleh teman masa kecil yang sudah lama nggak ketemu, jelas saya
menyebutkan nomor HP saya dengan senang hati.
Beberapa hari
berselang. Dan teman saya pun menghubungi saya ngajakin saya ketemu. Karena saya
lagi males banget keluar rumah –anak rumahan mah biasa-, saya bilang aja kalau
lagi nggak bisa. Lalu beberapa hari berselang, lagi-lagi teman saya ini
menghubungi saya dan lagi-lagi ngajakin saya ketemu. Karena sebelumnya pernah
nolak ajakannya, nggak enak dong kalau saya nolak ajakan keduanya. Jadi saya
iyain aja. Itung-itung niatnya menjalin silaturahmi yang telah lama terputus.
Singkat cerita kami pun
ketemu. Ketemuannya sebenarnya di tempat yang agak nggak lazim. Tepatnya di
balai desa. Mungkin kamu akan mikir tentang apa yang salah sama balai desa. Tapi,
ketemuan jam setengah sembilan malam di balai desa yang kondisinya agak gelap
dan sepi banget, emang kayak gitu nggak aneh, ya?
Karena merasa kalau
balai desa adalah tempat yang terlalu aneh untuk ketemuan antara teman yang
udah nggak pernah berjumpa, saya sempat nanya ke dia …
“Ini beneran mau di
sini, bro?”
“Iya di sini aja.”
“Nggak pengen ke
HIK/Angkringan atau ke mana gitu?”
“Nggak usah. Di HIK
nggak enak.”
Dalam hati saya, lah kalau
mau ngobrol bukannya malah enak kalau di HIK? Tapi karena kayaknya dia lebih
nyaman di balai desa, akhirnya saya pun menuruti apa kemauannya.
Untuk mengawali
perbincangan kami di malam itu, saya pun berbasa-basi. Biar ngobrolnya
nyambung, saya sengaja pilih topik yang menurut saya bisa menghubungkan antara
kami berdua. Jadi, saya ngomong ke dia …
“Akhir-akhir ini, aku
sering ke Jogja.”
“Ngapain?” teman saya
nanya.
“Nonton stand up
comedy.”
Sekali lagi saya sengaja
pilih topik yang menurut saya bisa menghubungkan kami berdua. Bukan tentang
stand up comedy yang saya harap bisa mencairkan suasana. Tapi Jogjanya. Karena
satu-satunya info yang saya tahu tentang dia saat ini hanyalah fakta kalau dia
tinggal di Jogja. Dan harapan saya meleset. Dia sama sekali nggak tertarik sama
topik yang saya lempar. Kemudian malah
ngomong tentang sesuatu yang agak membingungkan. Tapi sebelum dia ngomong tentang
sesuatu yang berbelit-belit, saya nggak akan lupa kalau dia sempat ngomong …
“Eh, kemarin kamu tanya
tentang obat pelangsing, tho? Wah, aku lupa bawa produknya. Tapi nggak papa,
aku bawa brosurnya. Sekalian aku jelasin tentang bisnisku.”
Dalam hati jujur saya
agak heran, ternyata teman saya masih ingat tentang obat pelangsing itu. Saya
udah lupa, lho. Karena sejak awal percakapan tentang obat pelangsing kan niat
saya cuman buat basa-basi aja. Dan ternyata dia nanggepinnya serius.
Kemudian yang terjadi
adalah, teman saya pun mulai cerita. Cerita tentang banyak hal. Dia mulai
cerita tentang bisnis yang dia jalani, penghasilan yang dia dapat, reward,
hadiah liburan ke luar negeri, ngajakin orang buat gabung dan hal-hal lain yang
akhirnya membuat saya curiga kalau jangan-jangan teman saya ini ikutan MLM. Wadaw,
berarti saya sedang berada dalam presentasi MLM? Karena penasaran, saya tanya
dong …
“Bro, kamu ikutan MLM,
tho?
“Iya,” jawabnya mantap.
Penuh keyakinan. Tepat di detik di mana teman saya mengaku kalau dia ikutan MLM, saat itu juga saya sadar kenapa dia lebih memilih untuk ngobrol di balai desa yang sepi. Bukankah tempat sepi adalah tempat paling cocok buat presentasi MLM?
By the way, saya hanya terdiam. Agak
kaget juga, sih. Saya tahu dari facebook kalau dia jualan obat herbal gitu. Tapi
saya sama sekali nggak tahu kalau itu ternyata MLM. Dan layaknya orang awam
lain, jelas respon saya agak negatif. Saya emang belum pernah berurusan sama
MLM, sih. Tapi saya sering dengar kalau MLM itu nggak beres.
Sadar kalau raut muka
saya berubah, teman saya langsung ngomong …
“MLM yang aku ikuti ini
udah resmi, bro. Ada sertifikat halal MUI, syariah.”
Wow! MLM syariah? MLM
berbasis syariah? Saya pikir obrolan mulai menarik, nih. Saya emang udah ngomong
ke diri sendiri kalau saya nggak akan gabung sama yang gituan. Tapi nggak ada
salahnya mendengarkan penjelasan teman saya. Ngobrol tentang sesuatu yang baru
selalu menarik.
Dia lanjut cerita. Pokoknya
teman saya ngomong kalau MLMnya ini resmi dan bukan penipuan. Dia juga
menambahkan kalau di Indonesia cuman ada 70 berapa gitu MLM yang resmi. Dia sebutin
beberapa. Dan yang membuat saya agak terkejut, ternyata Tupperware itu juga
MLM. Kemudian saya pikir, pantes toples aja harganya mahal.
Kemudian dia lanjut
cerita. Kali ini ngomongin tentang teman-temannya yang udah sukses. Katanya ada
yang beli apartemen berapa ratus juta, mobil, dan hal-hal menakjubkan lainnya.
Lalu, saya penasaran. Duit teman saya ini kira-kira buat apa, ya? Karena dia
ketemu saya naik motor, saya mengambil kesimpulan kalau duitnya nggak mungkin
buat beli mobil. Daripada terus menerus dilanda rasa penasaran, saya tanya aja
sekalian …
“Lha terus duitmu udah
kamu pakai buat apa aja?”
Jawabannya cukup
mencengangkan.
“Ditabung, bro. Tapi
aku nabungnya nabung emas. Soalnya kalau uang bisa kena inflasi.”
Wadaw, nabung emas! Tapi benar juga, sih. Uang kan bisa kena inflasi. Saya
pikir, kayaknya next time saya mau nabung batu apung. Saya cukup yakin batu apung
nggak akan kena inflasi atau apapun itu.
Lalu dia cerita lagi. Tapi
saya nggak bisa fokus ke ceritanya karena saya dari tadi melihat ke arah
kantong plastik yang di bawa teman saya yang dia letakkan di atas meja. Jujur saya
bukan pendengar yang baik. Terus-terusan mendengarkan orang ngomong bisa
membuat saya bosan. Saya lebih suka percapakan dua arah. Jadi saya lagi-lagi
tanya tentang apa yang ada dalam plastik itu.
“Bro, yang di plastik
itu apa?” tanya saya sambil menyerobot plastik itu.
“Pesanan dari klienku. Buat
menghilangkan jerawat. Jadi wajahnya tu berminyak parah. Jadi entar mau aku
kasih itu.”
Karena penasaran, saya
keluarin aja produk itu dari plastik yang membungkusnya. Dan sumpah, saya
benar-benar kaget pas produk itu keluar dari plastik dan menunjukkan jati
dirinya.
“Bro, tapi ini bukannya
pasta gigi, ya?”
Saya nggak bohong, di
produk itu tertera dengan jelas tulisan TOOTHBRUSH, yang mana itu artinya pasta
gigi. Pasta gigi mau dikasih ke wajah? Emang wajahnya kena knalpot?
“Iya, itu emang pasta
gigi,” jawab teman saya mantap. “Tapi kandungannya bisa buat menghilangkan
minyak di wajah sama jerawat.”
Hah?! What the … ok,
saya berusaha menenangkan diri. Bersiap untuk menanyakan pertanyaan
selanjutnya.
“Harganya berapa?”
tanya saya.
Kemudian dia menyebut
sebuah angka. Saya lupa, apakah itu 190an atau 90an. Yang pasti, ada kata
sembilan di situ. Dan yang pasti lagi, harganya sangat nggak masuk akal untuk
sebuah pasta gigi. Sadar saya sedikit kaget dengan angka yang dia sebut, teman
saya langsung membuat pembelaan.
“Harganya emang mahal. Jangan
disamakan dengan sabun muka yang biasa kamu pakai. Soalnya kandungannya beda.”
Gimana mau menyamakan
dengan sabun muka yang biasa saya pakai?! Bahkan ini bukan sabun muka! Ini pasta
gigi, bro! Pasta gigi! Ini adalah odol!
Dan lagi, wajar lah
harganya mahal. Saya maklum, kok. Tapi apakah karena kualitas? Saya rasa belum
tentu. Satu hal yang pasti, kayaknya harganya mahal karena labanya dipakai buat
ngasih bonus ke uplinenya yang mungkin udah panjang banget jalurnya di atas.
Kemudian dia lanjut
cerita. Tapi seperti yang saya sebut di atas, saya bukan pendengar yang baik. Saya
gampang bosan kalau dengerin orang ngomong. Jadi yang terjadi adalah, kalau dia
ngomong sesuatu yang saya nggak ngerti, maka saya stop dan saya pertanyakan. Kalau
ada sesuatu yang menurut saya nggak sesuai dengan apa yang saya yakini, maka
saya stop dan saya memaparkan argument saya. Sekali lagi saya lebih menyukai
percakapan dua arah. Tapi jelas dia nggak suka, karena percakapan dua arah
jelas akan menghambat presentasinya. Hingga akhirnya saya agak lupa tentang apa
pemicunya tapi tiba-tiba dia nanya ke saya …
“Kamu suka baca nggak?”
Belum sempat saya menjawab
dia langsung menebak.
“Pasti nggak suka, kan.
Kayaknya kamu harus banyak baca buku biar pemikirannya nggak sempit.”
Hah?! Kenapa hanya dari
obrolan yang terjadi di antara kami dia bisa menyimpulkan kalau saya nggak suka
baca? Saya emang nggak suka baca buku tentang motivasi, pelajaran, filsafat,
dan semacamnya. Tapi bukan berarti saya sama sekali nggak suka baca. Saya suka
kok baca novel atau komik. Saya juga suka baca berita, sejarah, dan bahkan saya
suka nulis blog. Bagaimana saya bisa suka nulis blog kalau saya nggak suka
baca?!
Dan lagi. Pemikiran sempit?
Sekali lagi saya nggak tahu apa pemicunya hingga dia mengucapkan kalimat itu. Apakah
merasa frustasi karena saya memaksanya berkomunikasi dua arah sehingga bikin
presentasinya agak kacau? Nggak yakin, sih.
Setelahnya, percakapan
berubah menjadi sangat nggak menyenangkan. Merendahkan orang lain yang kerja
kantoran atau sekedar menjadi karyawan. Perkataannya terkesan agak mendewakan
uang. Seolah sumber semua kebahagian adalah tentang uang. Semua kegiatan yang
nggak berkaitan sama uang adalah kesia-siaan. Bahkan dia sempat ngomong ke saya
…
“Emangnya sampai kapan
mau nonton stand up terus? Emang apa yang kamu dapat? Kamu harus mulai berpikir
untuk masa depan.”
Hah?! Ok, saya tahu dia
ngomong kayak gitu karena di awal saya bilang kalau saya beberapa kali ke Jogja
buat nonton stand up. Tapi, ini aneh banget sumpah. Stand up kan hiburan. Emang dikiranya
tiap hari saya nonton stand up kali, ya? Bahkan saya nonton stand up juga belum
tentu sebulan sekali. Karena faktanya, show stand up emang nggak digelar
sesering itu. Dan lagi, stand up comedy bagi saya adalah sebuah refreshing. Itu
cara saya untuk menyegarkan pikiran. Dan tentu cara orang beda-beda. Ada yang
ke pantai, gunung, atau dufan. Rasanya saya nggak bisa membayangkan teman saya
ini mengajak orang buat gabung MLM sambil bilang …“Emangnya sampai kapan kamu
mau ke dufan terus?” ke orang yang bilang sama teman saya kalau dia pernah
beberapa kali ke dufan.
Oh, iya. Teman saya ini
ternyata sangat pintar tentang psikologi. Berkat ikut MLM? Kemungkinan besar
iya. Ada sebuah percakapan yang nggak mungkin saya lupakan …
“Kamu ini kalau aku
perhatikan masuk kategori sanguin,” ucap teman saya.
“Sanguin? Apaan, tuh?”
jujur saya benaran nggak paham sama yang begituan.
“Salah satu cirinya nggak
suka mendengarkan dan lebih suka didengar.”
Saya mengangguk tanda
setuju dengan apa yang disebut sama teman saya.
“Pasti kamu juga nggak
betah di rumah dan gampang bergaul.”
Kali ini saya nggak
setuju. Karena faktanya, saya anak rumahan dan nggak punya banyak teman. Karena
saya nggak setuju, udah pasti saya sangkal, dong.
“Nggak juga tuh. Malah aku
lebih suka di rumah. Aku juga nggak punya banyak teman.”
Apa tanggapannya? Apakah
dia merasa malu karena perkiraannya salah? Ternyata enggak. Seolah tanpa dosa dia hanya
berkata …
“Oh, berarti kamu sanguin
tipe yang ortodoks.”
Saya hanya mengerutkan
dahi. Rasanya mulai males kalau terus-terusan ditanggepin. Karena rasa males
ini udah mulai memuncak, saya akhirnya pamit pulang. Dan sebelum pertemuan kami
usai, dia berkata …
“Bro, dua hari lagi ada
seminar MLM di Solo. Kamu hadir, ya.”
“Eh???”
“Tenang aja. Nanti
berangkat berdua boncengan sama aku.”
“Nggak bisa kayaknya,
bro,” seperti yang saya bilang di awal, saya nggak minat gabung yang begituan.
“Diusahakan lah, bro.
Soalnya aku lihat, kamu ini punya potensi.”
Apa? Punya potensi? Itu
artinya saya punya kemampuan untuk mengajak orang lain ikut MLM? Itu artinya
saya punya kemampuan komunikasi yang bagus? Kalau saya emang punya kemampuan
berkomunikasi sebaik itu, kayaknya saya nggak mungkin jomblo dari lahir, deh.
Terakhir …
Pertemuan yang
benar-benar nggak terduga. Diajak ketemuan sama teman lama, saya pikir bakalan
bernostalgia tentang masa lalu atau seenggaknya berbagi kabar terkini kondisi
masing-masing. Tapi, ternyata malah mendapat presentasi MLM.
Kayaknya saya harus
berterimakasih sama MLM. Karena tanpa MLM, saya nggak akan pernah kepikiran
buat nulis artikel ini. Yang mana, ini adalah artikel terpanjang yang pernah
saya tulis di blog saya ini. Saya juga harus berterimakasih sama MLM karena
berkat MLM, sekarang teman saya berubah menjadi seorang penabung emas.
wkwkwk, dramatis sekali..
BalasHapusSetelah nonton anime NHK, truss baca ini post,. ane langsung inget kalo salah satu anggota keluarga ane ada yang ikut MLM juga, tapi dah lama berhenti.. kayaknya dia gak mau ngulas MLM sama saya. pas ditanya, dia jawab, "Ah, itu dulu."
hhahahahaha. kalau saya kebalik mas. ngalamin kejadian ini dulu baru kemudian nonton NHK. hehehe. mungkin saudaranya masnya trauma kali. hahaha
HapusMLM oh MLM.. jadi inget dulu tahun 2006 pernah PHPin temen kuliah pura2 tertarik, pura2 mau daftar. Udah dikasih formnya, simpen di tumpukan koran. Lama ga kesentuh akhirnya dimintain lagi dan itu form udah berdebu. 😂😂😂
BalasHapuswkwkwk... parah agan mah. tidak setia kawan. wkwk
Hapus