Pertama Kali Naik Roller Coaster
Sebelum melangkah lebih
jauh, biarkan saya mengatakannya terlebih dahulu. Ok, saya sadar, kok. Hanya dengan
membaca judul postingan ini, kamu akan berpikir kalau saya adalah orang yang
cukup norak. Ngeblog tentang pengalaman pertama naik roller coaster? Tuh, norak
banget, kan. Haha.
Tapi, apapun yang ada
di pikiran kamu, sejujurnya saya nggak begitu peduli. Karena bagaimanapun juga
saya tetap akan menuliskan pengalaman norak itu. Soalnya begini, dalam dua
bulan terakhir, hanya ada 4 postingan baru di blog ini. 2 dari bulan April dan
2 dari Mei. Nah, sadar akan berkurangnya produktivitas saya dalam menulis blog,
maka dari itu, bodo amat senorak apapun postingannya, yang penting update. Haha.
Jadi ceritanya begini …
***
Minggu, 27 Mei 2018
Waktu itu, hari
kesepuluh di bulan ramadhan tahun 2018, saya dijadwalkan untuk bertemu dengan
seseorang dari Trans Studio Mini Solo untuk keperluan kerjasama dengan
komunitas saya, Stand Up Comedy Kampus UMS. Pertemuan dijadwalkan di lokasi Trans
Studio Mini itu sendiri, tepatnya di lantai 4 (atau 3, lupa) Transmart Pabelan.
Saya menghadiri
pertemuan itu dengan seorang kawan yang waktu itu mengajak istrinya juga. Singkat
cerita, akhirnya pertemuan pun berlangsung, kesepakatan demi kesepakatan pun
lahir. Beberapa diantaranya … nggak penting! Ini kan postingan tentang
pengalaman pertama saya naik roller coaster, jadi rasanya nggak perlu lah ya
saya tulis kesepakatan apa saja yang lahir dari pertemuan itu. Jadi, kita
langsung skip aja dan langsung menuju ke roller coaster.
OK. Jadi, setelah pertemuan
selesai, seseorang dari trans studio yang tadi berunding bersama kami menawari
kami untuk mencoba secara gratis roller coaster yang memang menjadi salah satu
wahana di tempat bermain tersebut.
Jujur saja, tentunya
saya ragu untuk menerima tawaran itu. Alasannya
simple, saya takut ketinggian. Separah apa sih ketakutan saya? Jadi gini. Pernah
lihat rumah dengan dua lantai yang baru dibangun? Kalau pernah, biasanya kan
tangganya belum ada pinggirannya, tuh. Nah, saya naik tangga yang belum ada
pinggirannya aja takut setengah mati, kok. Apalagi naik roller coaster.
Di tengah keraguan itu,
teman saya meyakinkan saya. Lalu saya pikir-pikir lagi. Dan akhirnya saya mau. Kira-kira
ada tiga alasan sih kenapa saya mau. Pertama, pengalaman baru. Belum pernah
soalnya. Kedua, siapa tahu bisa sembuh dari fobia ketinggian. Melawan rasa
takut gitu ceritanya. Ketiga, mumpung gratis. Haha. Soalnya kata teman saya,
sekali naik harganya 60ribu apa berapa gitu. Pokoknya lumayan mahal buat
kantong mahasiswa. Makanya, mumpung gratis harus dimanfaatkan. Btw, istri teman
saya nggak ikutan naik.
Menjelang naik ke
roller coaster, perdebatan pun terjadi. Ini mau duduk di mana? Saat itu,
seseorang dari trans studio memberi saran …
“Di belakang aja, Mas. Naik
ginian paling seru kalau di belakang.”
Akhirnya kami nurut aja
sama apa kata mas trans studio. Saya dan teman saya duduk di belakang. Enggak paling
belakang, sih. Tepatnya kedua dari belakang. Sementara itu, mas trans studio
dan satu orang rekannya naik juga dan duduk tepat di depan kami. Jujur saja,
pas dengar masnya bilang di belakang lebih seru, hati kecil saya meyakini kalau
sebenarnya yang bakal terjadi adalah kebalikannya, pasti maksudnya lebih serem.
Singkat cerita, roller
coaster pun meluncur. Saat tanjakan pertama, saya masih biasa-biasa aja. Nah,
sayangnya, hidup kan penuh keseimbangan, ya. Kalau ada tanjakan, pasti ada
turunan. Dan benar saja, setelah lewat tanjakan pertama, tiba saatnya roller
coaster untuk meluncur menurun dengan tajam. Di sini, saya mulai takut. Mata langsung
tertutup, serapat yang saya bisa.
Karena menutup mata,
saya jadi nggak lihat apa-apa. Ya iyalah, namanya juga merem. Nah, di saat mata
tertutup itu, yang saya rasakan adalah sensasi tubuh seolah terlempar. Kayak terombang-ambing
gitu. Dan sebagai orang yang sangat religius, di awal-awal roller coaster
meluncur, dari mulut saya meluncur
kata-kata makian. Apapun, semuanya keluar. Haha. Religius sekali, kan?
Tapi itu cuman di awal
doang. Lama kelamaan, karena sensasi seakan-akan terlempar dari kursi dan merasa
keselamatan nyawa saya terancam, tahu-tahu saya jadi ingat Allah, loh. Beneran.
Jadi yang awalnya misuh-misuh, ditengah-tengah tiba-tiba saya dzikir. Hahaha.
Setelah dua putaran,
akhirnya saya turun dari roller coaster. Sumpah, waktu itu kaki saya merinding
parah. Kayaknya lain kali nggak akan nyobain yang beginian lagi, deh. Nggak mau
sok-sokan lagi. Naik tangga yang nggak ada pinggirannya aja udah takut apalagi
roller coaster.
By the way, akhirnya
saya menyadari sesuatu. Kayaknya kalau mau ingat sama Allah nggak perlu
repot-repot datang ke pengajian, deh. Cukup naik roller coaster aja.
Belum ada Komentar untuk "Pertama Kali Naik Roller Coaster"
Posting Komentar