Once Upon A Time Stand Up Show Jogja [Review]
Pernah pergi ke sebuah
acara reuni di mana kamu sebenarnya bukan bagian dari sekelompok manusia yang
sedang bereuni tersebut? Menemani pacar pergi ke acara reuni misalnya? Kebetulan
saya belum pernah. Karena kebetulan, saya juga nggak punya pacar. Meski belum
pernah, tapi jujur hanya dengan membayangkannya saja saya tahu kalau rasanya
pasti akan sangat membosankan. Melihat orang-orang yang saling berbicara dan
tertawa membahas masa lalu yang mana enggak kita alami, situasi yang saya yakin
pasti akan sangat awkward sekali. Mau ikutan ngobrol tapi nggak ngerti
ngomongin apa. Apalagi kalau mau ikutan ketawa, pasti canggung banget.
24 Maret 2018, semuanya
berubah. Akhirnya saya merasakannya. Bukan tentang punya pacar. Tapi tentang
pergi ke sebuah acara reuni di mana saya sebenarnya bukan bagian dari
sekolompok orang yang sedang bereuni tersebut. Di hari itu, saya hadir ke
sebuah acara reuni bertajuk Once Upon A Time. Sebuah show stand up comedy yang
menjadi ajang reuni angkatan lama comic-comic komunitas Stand up Indo Jogja. Ada
Bene Dion, Benidictivity, Denny Nyamin, Nuel Andreas, Gigih Adiguna, Abraham
Tino (dan harusnya sih Yusril Fahriza) yang tampil malam itu.
Pada awalnya, ketika
saya ditawari oleh teman saya untuk menonton show ini, jujur awalnya saya agak
malas. Alasannya sederhana saja, karena acara ini adalah show keroyokan dari
banyak comic. Memang kenapa kalau show keroyokan? Jadi begini, saya memang suka
nonton acara stand up. Tapi yang bentuknya special show. Buat yang belum tahu,
special show itu semacam konser tunggal kalau dalam dunia permusikan. Selalu
ada keyakinan dalam diri saya kalau menonton special show pasti memuaskan. Karena
saya yakin comic yang berani bikin special pasti bukan comic sembarangan. Dan
kayaknya itu cukup mempengaruhi pandangan saya sama show keroyokan. Karena
dalam beberapa tahun terakhir, show keroyokan sudah nggak begitu menarik buat
saya.
Itu alasan pertama. Alasan
keduanya adalah jarak. Jujur saya cukup malas kalau harus menempuh perjalanan
jauh dari Solo ke Jogja hanya untuk menonton show keroyokan. Tapi, untuk Once
Upon A Time, kasusnya berbeda. Karena ketika saya melihat line up siapa saja
comic yang akan tampil di acara ini, kali ini saya membuat pengecualian. Karena
saya pikir akan menyenangkan rasanya menonton comic-comic yang dulunya sering
wira-wiri mengisi acara stand up di kota pelajar jauh sebelum nama-nama seperti
Coki Anwar, Mamat Alkatiri, atau Aly Akbar muncul.
Umm … nggak tahu
kenapa, kayaknya intro dari postingan ini sedikit berbelit-belit, ya. Intinya
kemarin saya nonton show stand up comedy di Jogja yang judulnya Once Upon A
Time. Dan dipostingan kali ini, saya pengen mereviewnya. Jadi, nggak usah
berlama-lama lagi, mari kita langsung saja.
Show ini digelar di
Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta. Saya sampai di venue acara sekitar pukul
19.00. Menurut saya venuenya cukup menyenangkan. Jarak antara panggung dan
penonton yang cukup dekat membuat suasana terasa begitu intim. Ya, terasa
intim. By the way, bukankah memang seperti itu seharusnya acara reuni berjalan?
Enggak menunggu terlalu
lama sejak kedatangan saya di gedung pertunjukkan tersebut, acara pun dimulai. Lampu
padam. Muncul Hifdzi Khoir dan Mukti Entut yang bertugas menjadi pemandu acara
pada malam itu. Duo personel Orkes Pensil Alis tersebut dengan sukses
memanaskan suasana. Selain muncul di awal show, duo MC yang memiliki postur
tubuh menggemaskan ini kembali hadir di setiap dua comic telah selesai tampil. Oh
iya, hampir saya lupa. Malam itu, jujur saya sangat kagum tentang bagaimana
Mukti Entut terlihat seolah sangat mudah membuat semua orang tertawa. Diksi-diksi
jenaka yang terasa sangat spontan dalam menanggapi pancingan Hifdzi jadi
sesuatu yang menarik untuk dinikmati malam itu. Sampai-sampai saya berkata
dalam hati, “Iki wonge latihan disik opo
dasare wes lucu awit lahir, tho?”.
Bene Dion menjadi comic
yang tampil pertama pada malam itu. Masih jelas dalam ingatan saya tentang apa
yang dikatakan Bene di awal penampilannya. “Kalian
nonton acara ini itu sama kayak nonton Maradona main bola. Bisa, sih. Tapi udah
nggak jago”. Dan kira-kira seperti itulah penampilan Bene malam itu. Persis
seperti apa yang dia katakan, kayak nonton Maradona main bola. Hehe. Tapi apapun
itu, saya cukup menikmati cerita-ceritanya tentang masa lalunya ketika masih
tinggal di Jogja dulu. Juga tentang menjadi kaya sedikit banyak merubah dirinya
menurut saya adalah pembahasan yang menarik.
Tampil kedua ada
Benidictivity. Pernah dengar tentang Midas? Tentang apapun yang dia sentuh
berubah menjadi emas? Sungguh cerita yang jujur saja untuk membayangkannya
menjadi kenyataan adalah sesuatu yang mustahil. Tapi malam itu, di bidang lain,
tepatnya comedy, saya seolah melihat sosok Midas pada diri Beni. Ya, tampil
dengan suara yang agak serak, Beni mampu merubah apapun yang keluar dari
mulutnya menjadi untaian tawa.
Berikutnya ada Denny
Nyamin. Saya yakin semua orang yang hadir malam itu akan setuju kalau saya
berkata jika Denny Nyamin adalah penampil paling aneh. Ya, seenggaknya kalau
nggak mau disebut gila. Masuk panggung dengan GALER adalah awal dari semua keanehan yang Denny Nyamin tunjukkan
malam itu. Materinya, pembawaanya di panggung, bahkan penampilannya secara
fisik pun aneh, kayak orang mabok atau … saya juga bingung sih gimana mau
nyebutnya. Tapi di balik semua keanehannya, Denny Nyamin sama sekali nggak
melupakan hal paling penting dalam berkomedi. Ya, LUCU! Bagi saya, Denny Nyamin adalah penampil paling lucu malam
itu. Aneh, tapi lucu. Saking anehnya, banyak bit-bitnya yang kepotong di tengah
dan nggak diteruskan sampai akhir. Entah karena lupa atau apa. Tapi anehnya
justru momen kayak gitu lucu. Aneh, sih. Tapi lucu.
Setelah itu ada Nuel
Andreas. Diperkenalkan sebagai budak korporet, Nuel masuk panggung dengan
pakaian yang terlihat sangat rapi. Nuel memulai penampilannya dengan bercerita
tentang hubungannya yang nggak direstui oleh orang tua sang pacar. Hal yang
paling nempel dalam ingatan saya tentang penampilan Nuel Andreas malam itu
adalah ketika dia menjelaskan makna budak yang sesungguhnya dengan memperagakan
gesture seseorang yang sedang berdandan. Yang tentu saja niatnya sih
memplesetkan kata bedak. Wadaw sih jokenya. Tapi harus diakui, saking wadawnya
sampai-sampai masih teringat sampai sekarang. Hehe.
Selanjutnya ada Gigih
Adiguna. Tampil dengan bit-bit pendek, Gigih berhasil memanen tawa dengan LPM
yang cukup padat malam itu. By the way, entah cuman perasaan saya atau gimana,
sepertinya Gigih Adiguna tampil tidak terlalu lama di atas panggung malam itu.
Tapi bagaimanapun juga, pecah tetaplah pecah.
Terakhir ada Abraham
Tino alias Abe. Diperkenalkan sebagai sosok yang berbahaya, Abe benar-benar
tampil berbahaya malam itu. Kombinasi antara dark dan blue comedy mendominasi
apa yang dia sampaikan di atas panggung. Garang dan sangar, tapi lucu. Banyak poin
yang disampaikan Abe yang jujur saja juga saya rasakan. Seperti tentang takut
punya anak perempuan yang punya pacar. Meski imajinasi saya tentang hal itu nggak
separah imajinasi Abe juga, sih. hehe. Tapi saya benar-benar merasakan
ketakutan itu. Saya juga setuju tentang pandangannya terhadap keperawanan yang
sebenarnya nggak perlu disakralkan. Intinya, bagi saya, penampilan Abe malam
itu sangat relatable. Jadi bagi saya, sesangar dan setabu apapun penampilan
Abe, saya sama sekali nggak merasa terganggu. Mungkin benar kata orang, komedi
memang tentang refrensi.
Ah, kayaknya cukup
segini saja tulisan saya kali ini. Tapi sebelum saya tutup, saya cuman mau
mengkoreksi sedikit tulisan saya di awal tentang pasti awkward rasanya hadir di
acara reuni yang di situ kita bukan bagian dari orang yang bereuni. Sepertinya
itu nggak 100% valid. Karena faktanya, di acara Once Upon A Time, yang mana sejatinya
adalah acara reuni, saya bisa tertawa lepas.
BACA JUGA:
Belum ada Komentar untuk "Once Upon A Time Stand Up Show Jogja [Review]"
Posting Komentar