Juru Bicara World Tour Jogjakarta [Review]
Pada hari Sabtu tanggal
6 Agustus 2016, saya datang jauh-jauh dari Solo ke Jogja menempuh perjalanan dengan
sepeda motor yang diwarnai dengan gerimis di sepanjang perjalanannya, bukan
hanya saat keberangkatan, bahkan saat pulang pun kondisi cuaca belum berubah. Untuk
apa? Hanya satu tujuan. Menyaksikan show stand up comedy bersejarah bertajuk
Juru Bicara World Tour Jogjakarta, special show keempat dari Pandji
Pragiwaksono, comic Indonesia terhebat saat ini jika dilihat dari
pencapaiannya.
Andai saja show itu
digelar tepat satu tahun yang lalu, saya yakin saya nggak akan pernah datang ke
acara itu. Jangankan repot-repot ke Jogja, di Solo pun saya nggak akan datang.
Jika kita tarik waktu menuju tepat satu tahun yang lalu, andai saya diberi
pertanyaan tentang siapa comic favorit saya, tentu saya akan menyebut nama-nama
seperti Ryan Adriandhy, Sammy NotASlimBoy, Adriano Qalbi, atau Rindra Dana. Tidak
ada nama Pandji di situ.
Tapi semua berubah
di akhir tahun 2015 ketika tanpa sengaja saya menonton video Mesakke Bangsaku di Youtube, saat itu
tanpa sadar saya berkata dalam hati …
“Wow!
Saya nggak pernah tahu kalau Pandji sekeren ini!”
Sejak saat itu saya
mulai mencari tahu lebih banyak tentang beliau. Saya baca tulisan-tulisan di
blognya, entah kenapa itu membuat saya semakin kagum dengan beliau. Dan hingga
akhirnya saya memutuskan untuk membeli ketiga DVD stand up specialnya. Kenapa
saya melakukan itu? Bukannya wajar ya kalau seorang pengagum selalu ingin
melakukan sesuatu terhadap orang yang dikaguminya. Dan waktu itu saya pikir
membeli DVD adalah salah satu cara terbaik untuk itu –pencitraan, sebenarnya
sih buat koleksi aja-. Setelah itu lagi-lagi saya berkata dalam hati …
“Next
time kalau Pandji bikin special nonton langsung, ah.”
Di awal tahun 2016,
saya dapat kabar kalau Pandji akan bikin special lagi. Judulnya Juru Bicara
World Tour. Dan ketika kota mana saja yang akan didatangin mulai diumumkan,
nama Kota Solo nggak ada di situ. Kota terdekat cuma Jogjakarta. Dan saya pikir
… Jogja? Nggak papa, lah? Naik motor 2
jam juga udah nyampe, kok.”
Ketika ada kabar bahwa
tiket Juru Bicara Jogja sudah bisa dibeli, nggak membuang waktu saya langsung
bergerak. Bahkan saya sudah beli tiket Juru Bicara Jogja sejak tanggal 3 Mei
2016, tiga bulan lebih tiga hari sebelum shownya mulai. Kayaknya niat banget,
ya. Hehe.
Eh, ini judulnya review
Juru Bicara tapi isinya kok malah muter-muter, ya? Hehe. Ok, sekarang mari kita
kembali ke peristiwa yang terjadi di Jogjakarta pada tanggal 6 Agustus 2016.
Sekitar jam 6 lebih 10,
saya sampai juga di Kampus 2 Universitas Sanata Dharma Jogjakarta. Lalu sekitar
pukul 7, saya masuk ke Auditorium Driyarkara, gedung yang akan jadi venue dari
show itu. Saat pertama kali saya masuk ke situ, nggak tahu kenapa saya kagum.
Tempatnya keren banget. Pengaturan kursinya, ACnya yang sejuk, bahkan sampai …
sampai saya bingung mau nulis apa lagi. Hehe.
Tiket Juru Bicara Jogja |
Acara dimulai sekitar
jam 7.30. Rispo masuk sebagai pembawa acara. Membacakan peraturan dan tentu
saja memperkenalkan sponsor-sponsor yang mendukung acara ini. Dan nggak
ketinggalan, tentu saja dia melakukan itu dengan cara yang absurd.
Beberapa menit berlalu
dan tepatnya pada pukul 7.45, lampu padam. Mamat Alkatiri sang opener lokal
Jogjakarta masuk. Awalnya saya pikir karena dia opener lokal Jogjakarta, saya
akan menyaksikan seorang mas-mas Jawa yang akan melemparkan bit-bitnya di atas
panggung. Tapi ternyata, dugaan saya salah total. Alkatiri adalah … eh, gimana
cara ngomongnya biar nggak dikira rasis, ya?
Alkatiri memulai
penampilannya dengan memperkenalkan daerah asalnya, Fak-fak. Buat yang belum
tahu, itu adalah nama sebuah kota di Papua. Ada beberapa pembahasan menarik
yang disuguhkan oleh Alkatiri malam itu. Saya paling suka saat dia membahas
tentang orang yang masih menilai kualitas seseorang dari wajahnya, rasisme, dan
juga toleransi umat bergama.
Penampil berikutnya
adalah Afif, opener yang dibawa Pandji dari Jakarta. Sebelumnya saya pernah
beberapa kali menonton Afif melalui layar kaca. Namun, saya nggak pernah merasa
bahwa penampilan Afif spesial. Tapi malam itu, saya pikir saya benar-benar
larut dan menikmati penampilannya. Kayaknya ini adalah sesuatu yang disebut
dengan, the miracle of NONTON LANGSUNG.
Bit favorit saya dari
Afif malam itu adalah saat dia bercerita tentang teman-temannya alumni SUCI 5
yang memiliki banyak aplikasi di HPnya untuk menunjang banyaknya job yang
mereka dapatkan. Sementara Afif yang merasa jobnya sepi …
“Palingan
di HP gue aplikasinya cuman pengaturan,” Blar! Seketika suara
tawa memporak-porandakan Auditorium Driyarkara.
Setelah penonton dibuat
empuk oleh para comic opener, pada pukul 8.20 sang pemilik acara, Pandji
Pragiwaksono muncul dengan disambut meriah oleh penonton. Banyak hal yang
dibahas oleh Pandji malam itu. Mulai dari budaya negera yang didatanginya
ketika world tour, rating, berkarya, prostitusi, sensor di televisi, HAM,
hingga keresahannya terhadap nasib hewan domistik –hewan yang dijinakkan- atau
hewan yang diusik alamnya.
Salah satu momen favorit
saya adalah ketika Pandji melempar pertanyaan kepada penonton dan penonton
berusaha menjawab tapi nggak ada yang benar, Pandji selalu merespon dengan kata
hampir. Dan alasan kenapa Pandji selalu merespon dengan kata hampir adalah …
“Kenapa
gue jawab hampir? Ini buat guru-guru juga. Kalau gue jawab dengan kata salah,
pasti kalian akan berhenti berpikir. Tapi, kalau gue jawab dengan kata hampir,
kalian akan terus berpikir dan berusaha untuk mencari jawabannya.”
Dari banyak topik yang
dibahas malam itu, saya paling suka ketika Pandji membahas tentang berkarya. Tentang
yang terpenting dari berkarya adalah segera memulainya.
“Karya
itu yang penting harus dimulai dulu aja. Jangan takut jelek. Karena sudah pasti
jelek. Karya pertama pasti jelek. Tapi setelah itu yakinlah bahwa ada sebuah
proses yang disebut dengan bertumbuh.”
Saya suka pesan dari
Pandji yang intinya kunci dari berkarya adalah menjadi sedikit lebih beda. Menjadi
sedikit lebih beda lebih baik dari pada menjadi sedikit lebih baik. Kerena memang
faktanya sesuatu yang viral adalah sesuatu yang beda. Rasanya, saya benar-benar
termotivasi.
Selain termotivasi, ada
juga topik-topik yang sukses membangkitkan rasa penasaran saya dan membuat saya
ingin mencari tahu lebih dalam tentang topik itu. Topik yang saya maksud adalah
tentang aksi kamisan, sebuah aksi yang jujur saja belum pernah saya dengar
sebelumnya. Lalu saya juga penasaran dengan nasib hewan bernama Owa Jawa.
Oh, iya. Perasaan ini
acara stand up comedy, ya. Kok kesannya malah termotivasi sama penasaran? Lucu nggak
nih shownya?
Kalau soal lucu … jelas
lucu, lah. Namanya juga stand up comedy. Bahkan teman saya berkali-kali tertawa
sambil melompat dari kursinya. Dan rasanya rahang saya juga pegel karena
terus-terusan ketawa. Perjalanan Solo-Jogja, tiket kelas gold seharga Rp. 135.000, ditambah kehujanan di perjalanan sepertinya adalah nilai yang cukup pantas untuk ditukar dengan show malam itu. Meskipun, sebenarnya saya akan lebih suka kalau nggak hujan. Hehe.
Setelah bercerita
selama 2 jam lebih 20 menit, Pandji mengakhiri penampilannya pada malam itu. Sesi
tanya jawab dibuka setelahnya. Lalu, layaknya show stand up comedy lainnya, rangkaian
acara Juru Bicara World Tour Jogjakarta ditutup dengan sesi foto-foto.
Foto Bersama Sang Juru Bicara |
Terakhir. Kalau DVD
Juru Bicara sudah rilis –yang pasti tahun depan-, saya berjanji kepada diri
saya sendiri untuk membelinya dan menjadikannya teman selemari dengan yang ada
di foto di bawah ini …
Wah koleksi DVD Pandji ya, mas? Keren nih.. :D
BalasHapusBuat ngisi lemari, mas. hehe
Hapusmantaap.. salam kenal, mas faisal. :D
Hapussalam kenal juga mas Brian. Matur suwun sudah berkunjung.
Hapus